Peneliti ilmu bumi dari Chapman University, California, Dimitar Ouzounov, merupakan orang yang menemukan perubahan komposisi atmosfer ini. Menggunakan data yang dikumpulkan satelit pengindra atmosfer, ia melihat peningkatan konsentrasi elektron beberapa hari sebelum kejadian gempa Jepang.
"Puncak keanehan atmosfer terjadi tiga hari sebelum gempa," ujar Ouzounov. Perubahan komposisi ini diinterpretasikan sebagai tanda kedatangan gempa.
Ide memprediksi gempa dengan melihat atmosfer telah lama berkembang pada ilmu kegempaan. Prinsip kerjanya cukup sederhana. Sebelum gempa terjadi, bagian patahan sumber gempa akan melepaskan gas tak berbau yang dikenal sebagai radon. Karena bersifat ringan, radon melayang hingga ke lapisan ionosfer.
Pada lapisan teratas ini, radon dan molekul udara saling bereaksi membentuk partikel bermuatan yang menarik molekul air sambil menghasilkan panas. Panas ini bisa dilihat dengan teropong inframerah. Keseluruhan proses sendiri disebut sebagai mekanisme Coupling.
Menurut Ouzounov, peneliti telah mengumpulkan 100 data fenomena Coupling pada kejadian gempa berkekuatan lebih besar dari 5,5 skala Richter berkedalaman kecil dari 50 kilometer di Asia dan Taiwan.
Hubungan antara perubahan atmosfer dengan gempa ini semakin diperkuat setelah temuan pada gempa Sendai. "Butuh kolaborasi global untuk memonitor atmosfer agar bisa mengantisipasi kedatangan gempa," ujar dia.
Meski bukti-bukti terus terkumpul, kesuksesan dalam meramal gempa belum diyakini sepenuhnya. Pada kenyataannya, hingga saat ini belum pernah ada orang yang berhasil memprediksi gempa melalui perubahan atmosfer.
Fenomena lainnya, seperti perubahan perilaku binatang dan perubahan aliran air tanah, juga belum pernah digunakan dalam meramal gempa.
Profesor geofisika emeritus dari University of Michigan, Henry Pollack, memberikan pandangan kritisnya. Menurut dia, temuan Chapman belum meyakinkan karena butuh lebih banyak gempa agar bisa sampai pada kesimpulan bahwa gempa didahului oleh perubahan lapisan udara.
Sumber :
tempointeraktif.com